Tag

, , ,

Masalah DPT sudah muncul jauh hari sebelum pemilu legislatif berlangsung. Sebagian parpol pun memprotesnya. Hanya sekedar protes sepertinya, karena tidak terlihat usaha nyata untuk mendaftarkan kadernya yang belum terdaftar.

Pemilu berlalu, meski hasil resmi belum keluar, tapi sepertinya tidak akan jauh berbeda dengan ‘klasemen’ sementara hasil quick count. Dan partai-partai pecundang mulai bernyanyi sumbang. Pecundang, karena menjadikan DPT sebagai kambing hitam kekalahan.

Tiba-tiba saja partai-partai tersebut punya data orang-orang yang tidak tercantum dalam DPT. Oke lah, sebagian masyarakat memang baru mengadu setelah pemilu lewat. Tapi seharusnya partai-partai itu bisa aktif mendatanya jauh hari sebelum pemilu. Lucunya, sebagian dari petinggi partai-partai tersebut belakangan mengatakan sebagian penghuni rumah dan tetangga mereka ada yang tidak terdaftar. Petinggi partai yang seharusnya lebih melek soal ini.

Ini mengesankan bahwa masalah DPT memang sengaja dibiarkan. Jadi ketika kalah dalam pemilu, ada alasan yang bisa dikeluarkan. Kemudian mengambil peran bak protagonis dalam sinetron murahan yang terdzalimi >_<.

Pop quiz: bila situasi berbalik, partai-partai tersebut menjadi pemenang pemilu, apakah mereka akan tetap memprotes DPT habis-habisan :p?

Konon, kisruh DPT adalah hasil dari satu upaya sistematis untuk memenangkan partai tertentu. Mungkinkah? Sulit mempercayai bahwa ada partai di Indonesia yang punya resources sehebat itu. Hingga mampu memilah siapa akan memilih partai mana, dan menghilangkan nama-nama pendukung partai lawan dari DPT dengan begitu rapi.

Ok, lalu apa yang diharapkan dengan memprotes DPT?

Memaksa pemerintah dan KPU mengaku salah?

Menyatakan hasil pemilu tidak legit?

Membubarkan dan mengganti anggota KPU?

Menyatakan bahwa masalah DPT adalah pelanggaran HAM?

Membatalkan hasil pemilu dan mengadakan pemilihan ulang? (Coba bayangkan konsekuensi opsi ini. Ajaibnya, BEM se-Jabodetabek pun mengadakan konfrensi pers untuk menyuarakan ini. Sulit dipercaya, membuat pernyataan bodoh dengan mengatasnamakan mahasiswa yang katanya cerdas :p).

Atau hanya sekedar parodi mahal dengan membawa nama rakyat, demokrasi dan keadilan untuk menutupi kegagalan dalam pemilu?

Apa pun itu tidak ada yang merupakan upaya yang konstruktif agar hal yang sama tidak terulang di pilpres bulan Juli mendatang. Batas akhir pembaruan DPT untuk pilpres adalah bulan Mei. Dan apa yang dilakukan oleh partai-partai pecundang itu? Sibuk mengecam sana-sini di media.

Tidak terlihat kalau mereka kini sedang ikut berjuang memperbaiki DPT. Padahal inilah yang terpenting. Kesempatan untuk menunjukkan bahwa mereka punya niat yang baik demi demokrasi. Lebih baik lagi setelah itu mereka membuat pernyataan untuk mempersoalkan DPT pasca pilpres. Karena mereka punya andil dalam menyusunnya. Hmm, harapan yang mengada-ada :D?

Intinya. jangan sampai parodi yang sama diputar ulang. Terlalu mahal harganya.