Tag

, ,

Sebelum berkomentar lebih jauh mengenai harga BBM yang (hampir pasti) akan naik akhir Mei ini, ada baiknya kita mencari tahu sebenarnya seputar BBM di Indonesia. Berapa sebenarnya produksi minyak kita per tahun? Lalu berapa konsumi per tahunnya dan berapa kekurangannya yang perlu diimpor? Dan tentunya, apakah pemerintah benar-benar terbebani?

Peringatan: membaca data-data berikut bisa membuat kepala senut-senut ~_~.

Kwik Kwin Gie memaparkan perhitungan yang menarik di Koran Internet. Kwik membuat 3 macam skema perhitungan yang didasarkan data dari Menkeu Sri Mulyani. Ketiga skema perhitungan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah justru mendapat surplus.

Info Indonesia yang diasuh oleh Agus Nizami memberikan perhitungan yang serupa. Tabel simulasi yang diberikan berkesimpulan bahwa berapa pun harga minyak dunia, pemerintah akan untung. Data acuan untuk perhitungan tersebut ditambahkan belakangan di bagian komentar. Tabel itu sendiri dapat di-download untuk dipelajari.

Info Indonesia juga menyebutkan bahwa subsidi BBM itu tidak ada, melainkan hanya akal-akalan pemerintah belaka. File presentasi mengenai hal ini dapat di-download juga.

Perhitungan tersebut tidak sepenuhnya salah. Namun ada beberapa asumsi yang kurang.

  • Tidak semua minyak mentah dapat diolah menjadi bensin. Rovicky menuliskan dari 1 barrel minyak mentah, hanya sekitar 0.35 barrel saja yang bisa diolah menjadi bensin. Angka itu sendiri tidak baku, karena masih ditentukan oleh kualitas minyak mentah itu sendiri. Berapa % kah minyak Indonesia yang bisa diolah menjadi bensin? Ada yang bisa memberikan datanya.
  • Mengolah minyak mentah menjadi bensin memerlukan biaya tambahan lagi. Seperti transportasi, pengilangan, dan penyulingan.
  • Eksplorasi minyak di Indonesia 90 % dikuasai oleh perusahaan asing. Tentunya kita harus memasukkan faktor perjanjian ‘pembagian jatah’.

Faktor-faktor di atas tentu akan mempengaruhi perhitungan secara drastis. Berikut sedikit gambaran dari orang perminyakan:

– Split oil itu 85 : 15, jadi dari 1 juta produksi itu 850,000 bbl yang punya negara (85 %), belum lagi kalau lapangan marginal, bagi hasilnya bisa 70:30 tergantung isi kontraknya
– Dikurangi lagi biaya produksi US$15/bbl yg dipotong dari minyak juga (US$15 /bbl : 125 US/bbl) = 0.12 %
– Total potongan saja : 0.15 + 0.12 = 0.27 ~ 0.3 (dibulatkan) dari lapangan marginal yg splitnya 70 : 30, total punya Negara cuma 700,000 Bbl/day maximum (kalau asumsi 1 jt bbl/day pdhal sekarang cuma 940 bblribu/d), jadi bersihnya cuma 660 bbl/day

Terakhir, satu lagi kritik dari orang perminyakan mengenai perhitungan Kwik. (Untuk perhitungan Kwik selengkapnya bisa dibaca di Koran Internet)

Produksi dalam liter per tahun:
70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365 = 40,624,500,000
produksi ini adalah crude oil, dimana tidak semua crude oil itu bisa dikonversi sebagai BBM (bensin, solar, minyak tanah). Fraksi ringan, jadilah dia LPG, sedangkan fraksi berat jadilah dia aspal, wax dsb. Sementara bensin dan sebangsanya itu fraksi yang agak berat, masih bagus kalo crude yang diproduksi bisa jadi BBM separuhnya, katakanlah rata-rata 50 % artinya yang jadi BBM itu cuma 20,312,250,000 liter.

Konsumsi dalam liter per tahun 60,000,000,000, ini adalah konsumsi BBM, bukan crude. Jadi sesungguhnya impor yang dibutuhkan bukanlah sebanyak 19,375,500,000 liter tapi 43.750.200.000 liter BBM which is lebih dari 2 kali lipat itungannya KKG. Kalau kita impornya dalam BBM siap pakai maka harganya bukan lagi $100/barrel tapi $100/barrel + biaya pengolahan + biaya transport. Let say harga belinya jadi $110/barrel

Maka hitungannya pak Kwik menjadi
Rupiah yang keluar untuk impor:
(43.750.200. 000 : 159) x $ 110 x Rp 9500 = Rp 287,540,622, 641,509
Kelebihan uang dari harga jual didalam negeri (hanya yang bisa dijual sebagai BBM, dalam hal ini premium)
20,312,250,000 x Rp 3,870 (asumsinya KKG) = Rp 78,608,407,500, 000

Maka negara mesti nombokin buat impor BBM = Rp 208,932,215, 141,509

Penutup
Mana data yang Anda percaya silakan putuskan sendiri. Pertanyaannya adalah, terlepas dari apa pun data yang Anda percayai, setujukah dengan rencana kenaikan BBM? Apakah tak terelakkan lagi? Ataukah harus ditunda? Kalau perlu ditunda sampai kapankah?